Musim Hujan

Angin yang berhembus tak tentu, titik air menjadi rintik, rintik semakin berisik, membasuh kaki-kaki kecil kami yang tak letih mencoba petualangan, tak jemu berteman, bahkan tak khianat walau selalu berdesakan, saling menendang, berebut, terluka, tergores, terkikis, menghantam pelipis kawan, tulang kering, tak jarang patah, lalu rehab setahun, tapi karena tak tahan tertinggal kawan, ajaib, lima bulan saja kita jadi sembuh, esok-esok kita sudah mengejar ayam yang kewalahan mengatur anaknya (ah seperti bebek saja, tunggu, sejak kapan induk ayam mengatur anaknya) agar berteduh dari gemuruh badai. Kita tersenyum, kawan-kawan kita tersenyum, langit yang tak ubahnya mendung kelam, awan yang tak damai dengan angin, matahari yang besembunyi tak tahan, musim hujan puncak itu malah kita damaikan dengan senyum simpul manis kita yang lugu.

Harapan, impian, cita-cita, perhatian, takut, dilarang, taat, gembira, sedih, senang, tertawa, membuat yang lain tertawa dengan menertawakan hal yang tak lucu, memancing istilahnya, tak lupa saling menghina, dulu dibungkus dengan nama ayah, julukan sebab kebiasaan, atau hal yang tak masuk akal lainnya, senang kita mengumbar itu, padahal kan cuma nama, tidak ada kesan insulted dan sebagainya. Ah masa kecil memang aneh tapi keanehan itu indah. Semua perasaan kita meluap dengan spontan, seni penuh kejutan yang tak kaku, manusiawi, dan tentu saja meletupkan harmoni.

Ini dulu memang, dulu sekali, saat kita bermain pagi sampai petang. Saat kita berlari kencang tanpa beban, ketawa saat dikungkung sedih, menangis di tengah gelak tawa karena alasan sepele, individual, seperti kehilangan sendal jepit swallow saat bermain petak umpet, lupa menaruh sekaligus lupa diri dan tak tahu malu sebab menuduh macam mencabut kartu sekehendak, maka berkelahi jalan dangkal yang selalu kita pilih.

Dulu juga, yang sangat mengesankan barangkali, saat kita bermain sepak bola di padang ilalang pinggir sungai, menantang tim kampung sebelah, memaksa mereka menerjang derasnya air musim hujan, bermain menggunakan bola mereka pula. Licik. Kita memang tak mengincar menang, tapi kita justru menang, dan saat mengincarnya, kita justru kalah total. Tapi kalah-menang bukan urusan, yang penting kita bisa bermain dan tak terbebani. Ini termasuk alasan mengapa kita sangat senang bermain menggunakan bola mereka. Tak ada rugi sama sekali.

Angin masih melaju, awan masih tak jelas arahnya, matahari malu-malu, menahan diri, badai itu sejatinya mengamuk. Orang dewasa mungkin memilih bersandar di tempat apa saja, senyaman mungkin, ukuran mereka adalah kewarasan. Siapa yang mau berpergian di cuaca seperti ini. Tak jarang karena kewarasan itu bersinggungan dengan realitas, orang dewasa pun mengeluarkan kata tak pantas, menghardik ciptaan Tuhan itu, menyumpahi benda yang membuat hidup bumi itu. Tak tahu malu. Kita. Oh, kita belum dewasa, kewarasan masih sangat misterius bagi kita, realitas bahkan asing bagi kita. Saat itu kita mengalir tanpa memikirkan kemarin-besok-lusa. Mengalir  tanpa memikirkan akhir. Maka badai tak mempengaruhi kita sama sekali.

Musim hujan sungguh menyenangkan bagi kita. Tapi.... Itu dulu. Dulu sekali.

Sekarang, mari kita melihat generasi kita di tubuh generasi sekarang. Oh gersang, mereka tidak kooperatif, sangat dewasa, individual sekali. Ini stereotip saya memang, bermain dengan persentasi. Tapi biarlah, toh memang berbeda. Orang bijak pernah mengatakan. Saya lupa siapa orangnya. Dia mengatakan, bahwa jangan pernah membandingkan perubahan zaman. Itu sangat bijak, saya setuju. Tapi mereka lupa bahwa bukankah tiap zaman saling berpengaruh. Tidak membandingkan berarti justru kita berusaha melupakan. Melupakan masa lalu. Sukseskah kita? Saya kira membandingkan boleh-boleh saja selama kita tidak berlebihan, dan fanatik dengan nilai-nilai kita dahulu. Semua ada timbangan baik dan buruknya.

Baiklah. Generasi zaman sekarang, mereka takut dengan gemuruh badai, sambaran petir, lesatan kilat yang tak lezat. Saat itu terjadi, mereka mengurung dalam kamar, membasahi wajah dan kepala dengan air hangat, membasuh dengan handuk, memakai sweater hangat, menyuruh siapa pun di rumah membuat coklat hangat. Hangat, hangat,  dan hangat, itu saja, mereka tak pernah berani mencoba hal yang menyengat. Mereka tak kenal tantangan, mereka terbuai kesenangan yang mereka ciptakan sendiri dalam ruang hampa. Mereka lupa diri. Mereka tak di tubuh anak-anak.

Aku rasa sekarang tak banyak anak-anak yang bermain sepak bola tak kenal lelah, bermain sampai lupa waktu dan lupa diri. Tak ada. Perihal anak kampung sebelah? Tahu wajah saja tidak. Aku rasa sekarang anak-anak berada di dunianya sendiri, tidak membagi diri, kalaupun membagi diri mereka sungkan dan bungkam. Mereka cepat sekali dewasa. Maka badai itu, musim hujan itu, sangat-sangat mempengaruhi mereka. Mereka penuh kewarasan.

Comments

Popular posts from this blog

Alam dan Keadilan

Bebal

Blacklist, Blueprint, dan Sindikat di Ibu Kota