Blacklist, Blueprint, dan Sindikat di Ibu Kota


Pertemanan kami menjadi paradoks bagi banyak orang. Suatu titik temu ketidakpercayaan para pemercaya malah. Bagaimana bisa budak kumal yang di-blacklist kepala sekolah, sang penghuni bangku kosong yang dicari-cari tugas, dan pemegang juru kunci peringkat di kelas ini pada suatu hari justru diakui sebagai "teman setia" oleh sang aktor sekolah, trendsetter, kamusnya kepandaian, blueprint sebuah keberhasilan, bahkan lambang kemegahan sekolah.
         Namanya Hiro. Sebuah tradisi yang mengharuskan seorang jawara di sekolah kami bahwa saat penerimaan rapor wajib berpidato lantang memuat kesan, saran, dan yang terpenting adalah pada bagian sebut nama orang yang memotivasi dan sahabat setia. Hiro mengambil bagian itu tahun ini. Dan entah mengapa saat masuk kelas aura yang ia terima berbeda. Guru-guru exact dan social tetiba begitu tertib membolehkan kritik dan masukannya. Aura diskriminatif pada siswa lain. Dan yang lebih menakutkan lagi adalah aura siswa perempuan kelas. Mereka seperti sekawanan kucing yang akan bergerak saat dilempari daging ikan. Mengapa acara pidato ini mengundang banyak kegilaan?
         Hari itu, Hiro mengerti, mudah saja baginya mencari data. Cukup menelpon para alumni dan mendengarkan anjuran mereka, memetakan keterangan, maka pada serangkaian pola yang begitu jelas, politik, haus popularitas, dan nafsu kekuasaan yang ternyata menjadi alasannya.
      Sekolah ini adalah lahan demokratif yang bagi banyak birokrat dianggap sebagai ajang mempopulerkan nama. Sebut saja kepala sekolah tahun lalu yang terpilih sekarang langgeng menjadi anggota Dewan Kemasyarakatan plus Rektor Universitas Ibu Kota yang katanya sulit ditembus. Bagaimana bisa dia melangkah secepat itu? Menjabat di sekolah selama tujuh bulan dan pada bulan kesembilan telah berpindah jabatan. Adapun urusan para siswi, ah mereka cuma ikut-ikutan saja. Khas kaum hedonis. Hiro menjentikkan jarinya. Pola itu jelas, maka esok dia akan mengambil keputusan yang reformatif.
***
         "Yami" Katanya setelah gerombolan audience menunggu barang satu menit. Kepala sekolah dan wakilnya menoleh ke segala arah, menyibak, mencari data pada guru-guru lain. Seperti perkiraan, guru BK yang menjawab lantang perihal siapa anak ini. Sementara kerumunan sedang mempertanyakan banyak hal, para siswi sedang histeris bagai cacing kepanasan. Hiro kembali mengucapkan nominasi orang yang memotivasi. "Pak Mihdad", keputusan kontroversial. Pasalnya beliau adalah tenaga honorer. Hanya menggantikan guru pengajar sekali per bulan. Itupun untuk materi seni terapan yang minim bicara.
         Hiruk-pikuk bertambah, Hiro pamit undur diri dengan kedua tangan menjulur ke saku celana, dingin menyibak kerumunan. Pandangannya nanar dan memunculkan kesan sarkasme. Semua orang cerdas mengira betapa anak ini telah tersemai dilema. Hal ini terjadi pada Ren, Sang Runner-up. Ia menunjuki Hiro sebagai pecundang dan mempertanyakan kejumudannya. Tapi Hiro pergi saja, tak menggubrisnya.
         Aku mencegat Hiro di depan gerbang sekolah. Besi-besi pagar berdentuman ditaburi bulir hujan yang kian deras. Hiro ditemani payung hitamnya seperti bertemu sahabat lama, lantas wajahnya memasang ekspresi tidak pernah salah. "Ini terlalu cepat bagiku Kawan." Aku menggertak ekspresinya itu, pandanganku tajam.
         "Justru ini waktu yang tepat, otomatis kau akan terus berada di sekolah dan membongkar banyak hal." Dia tak kalah argumen.
         "Baiklah aku mengalah." Aku melambaikan tangan, "Keputusanmu ini boleh jadi kapiran setelahnya, dan Pak Mihdad, kau membuat urusan beliau menjadi tidak sederhana."
         "Ya, ya, aku tahu." Ekspresinya seperti mengantuk, menyebalkan melihat ekspresi itu. Membuat kepal tanganku geram.
         "Baiklah, tetaplah berlaku seperti biasa, paling cerdas, aku mungkin akan tetap menjadi aib di kelas. Ini rencana pertama agar kita bisa menyingkap tabir itu." Aku berkata dengan dingin. Tidak ada gunanya mempertanyakan keputusannya hari ini. Dia orang yang sangat impresif. Aku menangkap kesan itu dari lagaknya dahulu. Dan sedikit artifisial, aku melangkah dingin menembus deras hujan dengan jaket parasutku. Mistis.
****
         "Jika harga badan adalah nyawa, maka harga masyarakat, negara, bahkan dunia yang diisi milyaran nyawa ini tentu lebih dari itu, harganya adalah keadilan." Aku menghela nafas, kedinginan, untungnya topi baret kotak-kotak peninggalan ayah di kepalaku, syal rajutan ibu yang melingkar di leherku, serta jaket mentel hasil sumbangan satu desa di badanku cukup meresistansi gejala itu.
         Ini hari pertamaku di Sekolah Ibu Kota. Musim salju yang membeku. Aku tidak punya kesan apa-apa tentang Ibu Kota. Sekolah Menakjubkan ini. Aku tidak berpikir itu. Yang kupikir warga kampungku melarat, dan merantaukan anak desa seperti diriku adalah sekotak rencana yang berguna di masa depan.
         Aku duduk merenung di bangku jati sekolah yang sebelumnya ditaburi garam, bidangnya sejuk, mesti salju di atasnya masih fresh beberapa menit yang lalu. "Tidak bisakah kau melempar dengan baik!" Kulihat anak-anak sebayaku bermain kriket di lapangan sekolah persis di hadapanku. "Baiklah, terima ini!" Sahut kawannya yang lain seperti menerima kekuatan dari alam. Bola itu meluncur deras di udara, juga dipukul pada posisi terbaiknya, cepat, terpantul, dan akhirnya mengenai dahiku. Kontemplasi masa depanku buyar.
         "Kau seperti penduduk suku Eskimo yang tertimbun salju waktu itu." Dasar! Hiro menyela ceritaku, "Bisakah kau bersabar!” Menyebalkan sekali pusat gravitasi ini, seolah tahu segalanya, dan kapan pun bisa menolak dan setuju. "Baik, lanjutkan!" Dia akhirnya mengalah.
         Aku berniat mengambil bola itu tentunya, menciduknya di gumpalan salju, memasang muka senyum awal perkenalan, walaupun dahi sedikit lebam. Tapi bidang jalan setapak yang licin membuatku terpelanting, dan tebak bola mereka tak tertolong, kempis seketika di bawah bokongku.
         Mereka tentu protes, itu bukan bola mereka tetapi bola perjanjian dengan adik perempuan salah seorang dari mereka. Maka itu yang membuat mereka ngotot memaksaku membayar. Adik perempuan itu juga menangis memperparah keadaan. Sejatinya aku sudah bersedia membayar banyak saat itu. Boleh jadi aku menjual syalku, topiku, bahkan jaket mantelku untuk membayar berapapun harganya. Tapi saat aku berkeinginan seperti itu, justru salah seorang mereka menyalak dan mencela,
         "Hei anak kampung, topi ini tidak berharga, pantas menjadi rongsokan sampah, syal di lehermu juga sama, aku tak membayangkan bagaimana gurat tangan perajutnya, belum lagi mantel lusuh berbaumu ini, menjijikan." Maka karena penghinaan itu, aku bertengkar dengan dua anak itu sekaligus. Lima belas menit kemudian aku diarak ke ruang BK dan ruang Kepala Sekolah.
         "Kau memang pantas mendapatkan itu, Kawan. Adil." Hiro memotong lagi. "Ya, ya, tapi bisakah kau mendengar ceritaku dulu. Lagipula kita akan tiba pada bagian terpenting." Aku membungkamnya.
         “Kau tahu Hiro, dokumen itu dijaga sebab menjadi tiket untuk mendapat posisi yang lebih tinggi. Adapun, pengakuan siswa terbaik kepada pemilik dokumen seperti sebuah tanda tangan kontrak kerja. Permainan mereka seperti mengumpulkan potongan puzzle dan merangkainya. Aku tahu misi ini saat menerima hukuman, lebih tepatnya saat di ruangan Kepala Sekolah, melihat dan mendengar hal yang ganjil.”
         “Pertama saat aku dan guru BK masuk ke ruangan beliau. Beliau langsung menyembunyikan kedua tangan, tersenyum aneh. Kedua, sekembaliku dari toilet sebagai jatah hukuman pertama, aku tak sengaja mendengar bunyi persengkongkolan beliau lewat pembicaraan di ponsel. Ketiga, keesokan harinya, beliau telah mengucapkan perpisahan di upacara bendera, setelah kemarin tampak senyum karena dipilih menjadi tokoh motivasi. Kawan, pola ini sudah berjalan satu dekade lamanya.” Aku menyampaikan semua indikasi kepada Hiro hari itu. Sehari sebelum ia naik podium. Aku memang bukan alumni, tapi aku saksi mata asli dan anjuran para alumni untuk dimintai tanya oleh Hiro.
         Hari ini, Keputusan Hiro memaksaku kembali ke sekolah. Aku selalu tersenyum sinis melihat aturan main sekolah ini. Aneh dan unik. Kepala Sekolah pindah pangkat, anak emas mendapat tiket universitas setelah menyebut nama kepala sekolah, dan – yang menyebalkan bagiku – orang yang dilabel teman setia harus masuk sekolah apapun alasannya. Jikalau tidak, ganjarannya bukan main, kalian akan mendapati Tentara Ibu Kota yang tegasnya seperti Penjaga Istana Kerajaan Inggris, membentak kalian layaknya penyusup atau spionase yang terciduk. Setidaknya, inilah satu aturan yang membuat semua orang berpikir bahwa Sekolah Ibu Kota mencanangkan program disiplin tingkat tinggi. Aku salah seorang dari mereka dahulu.
         Segeralah kerjaan loper koran-ku kuselasaikan menjelang pukul tujuh pagi, berangkat ke sekolah untuk pertama kalinya sejak dua tahun berlalu. Aku memang merasa bersalah pada warga desaku yang menitipkan harapan. Tapi di sini, di Sekolah Ibu Kota yang didambakan banyak orang ini, diriku telah apatis pada pendidikan. Kawan, tidak ada artinya belajar jika dikekang, lebih parah lagi dikekang tanpa sepengetahuan. Tapi Hiro memaksaku kembali ke sekolah, menawariku rencana untuk membebaskan kekangan dan mengembalikan keadilan. Aku menerima itu, baiklah, tapi karena aku tidak memiliki bayangan rencana berikutnya, maka alasan logis keputusanku kembali hanya karena tidak ingin bermasalah dengan Tentara Penjaga Kota yang satu saja surat peringatan dari mereka membuat kita terpental dari Ibu Kota. Aku punya pekerjaan di sini.

****

Aku tercengang. Hiro memang blueprint sejati. Otaknya itu selalu memikirkan rencana megaproyek yang detail. Hari ini dia memberitahuku rencana akhir. Katanya, peranku cukup menjadi blacklist tulen, diam tapi menghanyutkan. Adapun soal Pak Mihdad sudah dia amankan.
         “Kawan, mereka tidak putus asa, maka Pentas Seni Sekolah menjadi terobosan berikutnya untuk mengejar nafsu kekuasaan itu.” Kuberitahukan ini pada Hiro setelah menyusup dengar suara dalam ruang Kepala Sekolah.
         “Dan aku disuruh presentasi, memaparkan keberhasilan sekolah.” Hiro mendahuluiku. Aku mengangguk meminta rencana selanjutnya. Dia malah tersenyum, bilang, “Aku bahkan sudah memikirkannya jauh hari, Kawan. Ini.” Dia menyodorkan layar tabletnya padaku. Di sana nampak foto dokumen barang bukti nafsu kekuasaan. Ya Tuhan, batinku bertanya bagaimana anak di depanku ini mendapatkannya? Dia masih tersenyum, menatapku meyakinkan.
         “Saat aku presentasi, jadilah operator slide-ku, ujungnya, gambar ini akan kita pampangkan ke warga kota. Membuat mereka semua melihat dan mengerti.” Katanya meyakinkan. Aku merasa banyak hal yang janggal dari intonasi suaranya barusan. Apakah justru selama ini dia sudah tahu? Lantas aku sendiri dipancingnya untuk menjadi bagian dari rencananya? Ah, mana mungkin, bukankah wajahnya masih heran ketika aku membeberkan semua fakta temuanku?
         Ini dialektika batinku sekarang. Aku tidak bisa menampik wajahnya saat ini. Dia seolah sudah merencanakan banyak jauh-jauh hari. Dia telah mendahuluiku. Bahkan sekarang aku mengasumsikan perbedaanku dengan dirinya. Melihat diriku yang apatis pada pendidikan, sedangkan dia memilih bertahan dan menjadi juara, menanti momen menyuarakan keadilan. Perbedaanku dengan dirinya bagai bumi dan langit. Jika ini terjadi, maka aku menyesal dengan keputusanku hari itu –meninggalkan pendidikan.
         Esoknya, Hiro menjadi singa podium yang garang. Suaranya lantang, tampilannya modis. Menggugah hadirin. Aku melihat Kepala Sekolah tersenyum bukan kepalang. Seolah dia sudah menang pertanda senyum itu. Melihat Hiro dengan percaya diri menyuguhkan kemampuan terbaiknya. Tapi itu semua hanyalah acting khas Hiro. Sesungguhnya dia berniat mengimprovisasi penampilannya hari ini di stage. Seolah seperti ada kesalahan teknis. Saat aku memunculkan lampiran dokumen surat pindah jabatan itu di layar besar. Semua wajah terperangah. Hiro pun demikian dengan lagak pura-puranya. Guru-guru yang tak tahu-menahu mulai ramai mencekcoki. Satu-dua kudengar suara melengking warga kota dari kursi belakang. Dilanjutkan hardikan mematikan wibawa. Malam itu suasana mencekam memenuhi langit-langit sekolah. Entah hal buruk apa yang akan terjadi esok.

****

         Hiro mengajakku ke tebing kota, memanjaki batuan granit mengkilat. Wajahku kebas dengan pertanyaan mengganggu itu. Apakah sungguh dia sudah tahu sebelumnya? Sindikat itu telah usai hari ini. Mata kepala kami sendiri menyaksikannya dari ketinggian. Tiga orang penting kota untuk beberapa bulan kemarin digelandang ke Bundaran Kota. Diikat pada tiga tiang kayu menggunakan tali nilon dan dilempari hingga tubuhnya berlumur merah – bukan darah tapi daging tomat yang berbekas. Tradisi lama itu kembali hari ini. Efektif membunuh wibawa kata warga kota. Setelah tradisi ini para bedebah itu akan dibuang jauh-jauh hingga namanya tak lagi didengus kota, negara, bahkan media.
         Mulutku membisu di belakang Hiro. Aku sungguh ingin menanyakan kejanggalan itu. Apakah semua ini rencananya sejak awal? Dia berbalik arah, kemudian tersenyum seperti tahu persoalan, dan mengatakan “Dik, Tidak tahukah kau? Aku ini kakakmu.”
****



Comments

Popular posts from this blog

Alam dan Keadilan

Bebal