Alam dan Keadilan
Sebut saja namaku Rimbun, itu nama samaranku di cerita ini, sekaligus nama yang diarahkan teman-teman sekelasku sebagai ejekan. Mereka bilang begitu karena rambutku keriting tebal tak tentu arah. Tapi tahukah kawan aku justru menganggap panggilan ini doa. Agar kelak aku bisa menjadi pohon ilmu. Rimbun dengan pengetahuan tapi tetap dengan akar yang jelas. Aamiin.
Saat ini aku sepantaran SMP kelas dua, tapi umurku sungguh dibawah kualifikasi jenjang itu. Bukan karena akselerasi tapi karena disekolahkan lebih dulu. Pernah kubertanya ke Ibu, "Mak, kenapa di kelasku kumisan semua?" Pertanyaan yang terlontar karena merasa asing. Ibuku serta merta menjawab dengan paradigma berbeda, suatu pendekatan unik "Nak, itu karena kecanduan internet, nonton video berlarut malam, tembus pagi. Jangan pernah begitu!" Maka karena jawaban Ibuku, aku pernah fobia membuka laptop selama seminggu. Ayahku tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya.
Kami sekeluarga hidup berkecukupan di kampung sederhana. Kubilang sederhana karena memang masih banyak nelayan penggenggam pukat, masih banyak pembajakan lahan sawah bertenaga kerbau, dan masih banyak anak berlarian di sawah memainkan orkestra layangan, meliuk di langit hingga putus benang talinya. Aku bagian dari mereka, tapi bedanya aku bisa mengakomodasi teknologi modern, bisa mengoperasikan laptop walau mulanya sebatas memainkan Feeding Frenzy, game yang mengajarkan ketamakan.
Aku bersekolah di Sekolah Negeri, bersama Sahara dan Sabana, dua anak emas milik desa. Satunya dinamakan Sahara sebagai doa memiliki ilmu seluas gurun terbesar di dunia itu. Nama kedua juga berangkat dari cita-cita yang sama, cukup ganti objeknya saja. Tapi hipotesis makna nama ini hanya estimasiku belaka. Aku tak punya ide lain.
Keberangkatan kami bertiga adalah wujud interkoneksi zaman lama dan zaman baru. Berjibaku memanjaki pegunungan karst sabuk desa, menyusuri lahan sawah tak bertuan, plus menyeberangi sungai lewat jembatan bambu lapuk berwarna kuning cerah yang jika diketok berbunyi lawas tanda tak memiliki isi dan sudah menjadi akses mobilitas selama berpuluh dekade lamanya. Koneksinya ketika kami berhasil melintasi jembatan bambu tadi, keluar dari alam eksotis menuju alam polusi. Persis samping jalan raya, menunggu angkutan umum di halte trans kota. Perjalanan ini membuat kami sepakat menjadi penengah bagi perseteruan nostalgia melankolis dan ekspektasi modern.
Dari kedua temanku, akulah yang kurang menonjol. Sabana contohnya. Lelaki ini peraih nilai tes masuk SN tertinggi. Rata-rata delapan untuk semua bidang. Seorang fisikawan sejati. Penghitung jarak dan ekspektasi. Berkutat dengan teori gravitasi. Bermain dengan efek doppler. Menghardik segala mitos kebetulan. Lelaki ini adalah wujud rasional alami. Adapun Sahara, adalah pegiat kimia tingkat akut. Gadis berkerudung rapi ini selalu nampak komat-kamit dengan molekul kimiawi. Bermetode jembatan keledai. Yang sering diulangnya adalah hafalan unsur golongan 2A. Beli mangga campur sirup baru rasa (Be, Mg, Ca, Sr, Ba, Ra). Sahara juga merata di segala bidang.
Aku? Akulah wujud ketimpangan sesungguhnya. Ketika neraca keadilan tak kutakar dengan proporsional. Satu banding sepuluh. Kuletakkan Biologi sebagai peminatanku. Kutinggalkan bidang studi lain seperti jemuran yang tidak diangkat saat hujan. Tragis. Maka track record raporku menjadi memoar yang kelam.
Aku suka dengan pelajaran Biologi. Alasan pertama, sebab Biologi memuaskan otakku dengan imajinasi. Alam-alam membentang luas masuk ke sudut imajinerku, menjadi seperti pantulan cahaya proyektor yang memuat materi presentasi, membuatku kadang terbawa perasaan. Karenanya Sabana dan Sahara sempat heran, memutuskan bertanya di sela-sela keberangkatan kami ke sekolah.
"Rim, aku dengar kamu pernah menangis saat materi evolusi?" Sahara yang bertanya, gadis ini langsung menunju intinya. Aku tak menjawab. Semenit lengang. Tiba-tiba, Sabana yang sedari tadi diam, menjawab ketus "Dapat nilai rendah mestinya, dan takut diketahui orang tuanya."
Hei, kapan alasan itu ada di kamusku. Aku menegakkan posisi duduk, komplain, "Kalau aku beritahu alasannya, kalian pasti tidak percaya." Sahara dan Sabana menoleh cepat. Kujawab jujur “Aku menangisi keadaan jikalau di masa depan konsep seleksi alam justru terjadi pada manusia. Jerapah berleher pendek punah karena tidak bisa menyesuaikan pada dahan yang tinggi, maka bagaimana dengan penduduk suku pedalaman, bahasa-bahasa lokal, kerajinan khas, ragam olahraga tradisional yang tidak bisa menyesuaikan dengan zaman. Apakah nasibnya akan terlupakan?"
Aku kemudian disergah pernyataan rasional Sabana, "Hei, teori itu omong kosong, jangan mudah dikaitkan, jikalau begitu, maka seharusnya dari tulang belikatku sudah tumbuh sayap. Aku ingin terbang mencari makanan, Rim, tak tahan di darat terus."
Aku kemudian disergah pernyataan rasional Sabana, "Hei, teori itu omong kosong, jangan mudah dikaitkan, jikalau begitu, maka seharusnya dari tulang belikatku sudah tumbuh sayap. Aku ingin terbang mencari makanan, Rim, tak tahan di darat terus."
Kedua, aku suka biologi karena keluasan istilah. Semisal nama-nama fauna endemik, flora eksotik, ditambah sistem binomial nomenklatur. Itu sangat menarik bagiku. Satu saja istilah membuatku bagai mendapat durian runtuh. Maka karena alasan kedua ini, tak heran aku selalu memancing Pak Syarif — Guru muda Biologi di SN — untuk mengeluarkan seluruh pengetahuannya yang luas. Beliau senang dengan fakta bahwa aku suka bertanya. Mengapresiasi. Tapi saat-saat tertentu ketika beliau sedang tidak mood untuk dikeduk pengetahuannya, maka wajahnya berubah merah buas, reaksi seperti kucing yang diinjak ekornya.
Pernah sekali aku mengintrupsi beliau di tengah meteri bioma taiga. "Pak, tentang Grey Wolf, mengapa mereka bekerja secara kelompok sekaligus mengadakan konflik antara alpha dan beta di dalamnya?"
"Itulah konsekuensi, Nak. Satu kelompok serigala mungkin masih bisa berkoordinasi, tapi posisi alpha tetaplah dambaan setiap serigala."
"Tapi adakah kemungkinan konflik antara alpha dan beta di tengah perburuan muskox misalnya?" Pak Syarif sedikit menekuk dagunya, menjawab netral, "Boleh jadi ya dan tidak, Nak."
"Tapi, kalau misalnya terjadi gimana Pak?", Dukk, wajah yang sering ditekuk itu berubah seketika, spidol di tangan diketuk keras ke papan tulis putih, membuat bidangnya berbekas. "Kenapa pula kau bertanya terlalu dalam tentang sekawanan serigala Nak! Aku tak tahu. Coba nanti kalau kau berkesempatan mengunjungi hamparan taiga, pergilah ke sarang mereka, pelajari, dan simpulkan sendiri." Seisi kelas seolah berhenti. Air botol merk Aqua di meja beliau tandas seketika, sekali teguk. Aku benar-benar terlalu curious saat itu.
Alasan ketiga, tapi ini tidak tepat menjadi alasan kesukaanku dengan Biologi. Lebih tepatnya menjadi alasan mengapa aku tekun mempelajari Biologi selama ini. Alasan ini simple, berupa satu pertanyaan saja. Satu pertanyaan yang mengganjal di benakku seminggu yang lalu. "Dimanakah letak keadilan bagi alam?"
Hari ini aku berkesempatan menanyakan hal itu. Mungkin aku akan dapati jawabannya dari Pak Syarif. Tapi sebelum itu, bertanya ke Sabana dan Sahara tak ada salahnya. "Menurut kalian, dimanakah letak keadilan bagi alam?" Aku bertanya seperti tanpa sebab bagi mereka. Tiada angin, langsung menuju badai.
"Simpel Rim, alam menyediakan fasilitas bagi manusia, dan manusia juga memfasilitasi keberlangsungan alam. Simbiosis mutualisme. Kau juga tahu hal itu." Sahara di sebelahku mengangguk setuju. Aku cepat-cepat menggeleng. Itu bukan jawaban yang kuinginkan. Lengang, Sabana tidak punya jawaban lain, Sahara bahkan sudah tidak terfokus lagi. Kami berpisah kemudian untuk masuk kelas masing-masing.
Jawaban yang kudapat dari Pak Syarif tidak memuaskan, meski aku tidak bersikeras menanyakannya lagi, tapi mood belau sepertinya akan kambuh jika itu kulakukan. Seperti Sabana, beliau juga berpendapat sama. Jawaban klasik. Yang faktanya sekarang justru tidak berimbang dan otomatis tidak adil. Kelas biologi hari ini sungguh membosankan, walaupun materinya genetika, eksperimen Gregor Johann Mendel — materi yang kusiapakan selama sebulan.
Pertanyaan mengganjal ini juga kutanyakan kepada Ibu selepas menikmati gangan ikan bandeng lezat khas desaku — sungguh nikmat. “Mak, di mana letak keadilan bagi alam?” Namun kalian tahu, jawaban yang kuterima sungguh kontekstual, sebab aku kurang mencermati situasi, “Nak, yang kutahu alam sungguh berbaik hati, contohnya kau baru saja menikmati ikan kunir buatan Emak, bersyukurlah Nak! Jangan tanya yang aneh-aneh!”, Aku tak kan fobia! Tidak akan! Gumamku dalam hati, menguatkan.
Kulemparkan pertanyaan mengganjal ini kemudian pada Ayah yang takzim tafakur membaca rubrik berita koran pagi yang dilempar loper dini hari dan beliau membacanya malam hari, sebuah pola sistemik dalam pencernaan berita. Beliau menatap penuh makna menyimak pertanyaanku, dan jawaban beliau lebih bijak dari seluruh respondenku: solusi.
“Ayah besok ingin berkunjung ke rumah Kakek. Ada sedikit tugas di sana, berhubungan dengan desa, tahulah urusan Ayah. Mungkin Kakek bisa menjawab pertanyaanmu ini, Nak, sekaligus melihat cucunya yang sudah tumbuh besar dan bertanya aneh-aneh!” Ujung-ujungnya sarkasme, apakah keluarga ini dibangun berdasar hal itu? Tidak! Ini hanya pertanyaan lain.
Maka esok hari, kami berangkat menggunakan mobil pikup dengan tiga tandang pisang, sekarung goni kol, bawang-bawangan, umbi-umbian dan beras sebagai muatannya. Kutanya ke Ayah untuk apa semua ini. Kata beliau sepertiga untuk kakek, sepertiga untuk kenalan, sepertiganya lagi untuk tengkulak. Sebuah pembagian terukur sama rata.
Kami menempuh perjalanan empat puluh kilometer, namun terbayar dengan suasana desa kakek yang eksotis, plus rumah kakek yang terpencil seperti dimuliakan warga desa. Rumah kakek sederhana. Rumah panggung mini dengan tiang-tiang kayu cendana, balok-balok pengalas kaki berjejer rapi, dan beranda kecil tempat menikmati semilir angin sejuk — sungguh ramah. Adapun yang lebih menyita perhatianku secara batin adalah sebuah ukiran papan di kosen pintu. Di sana tertulis: Jika Ilmu Untuk Mendebat, Maka Siaplah Menanggung Sesat. Jelas, padat, dan mengena.
Aku memutuskan bertanya setelah ramah tamah selama tiga puluh menit dengan kakek. Beliau pantas memulai dengan ramah, bukan? Aku menyimak seluruh guratan wajah tua ini bercerita. Tentang tambak udang penghasilannya, tentang pernikahan ayah dan ibu yang lucu, tentang kelahiranku yang janggal, dan tentang kisah kelamnya saat menjadi relawan, prestisius yang menikam dirinya justru. Pribadi di depanku ini benar-benar berpengalaman dalam pengenalan.
“Kek, boleh aku bertanya?” Beliau mengangguk antusias, “Di manakah letak keadilan bagi alam?” Beliau tersenyum, gigi geriginya kelihatan, tersimpul khas “Nak, pertanyaanmu seperti kau mencari Tuhan?”
“Keadilan bagi alam ya, letaknya singkat saja yakni pada gejala.” Aku tersentak pada pengambilan jawaban ini. “Gejala, aku sebut bahwa ini yang menggerakkan alam dalam kesatuan sistemik. Gejala adalah anugerah Tuhan, membuat tetumbuhan tumbuh dan menyesuaikan, bentuk-bentuk daun, jenis mereka, semua itu gejala. Gejala juga membuat mata rantai siklus mangsa-memangsa, termasuk juga sebuah penyesuaian, seperti cheetah yang lebih memilih berpacu dengan antelop ketimbang wildebeest yang merupakan mangsa singa. Sejatinya kamu paham soal ini, Nak. Tetapi biar kuperjelas, di dunia ini gejala-gejala bisa muncul di luar perkiraan, unpredictable, dan lebih banyak gejala yang tidak kita ketahui. Ketika sains mengungkap sebuah gejala, apakah manusia senang? Tidak juga! Bahkan manusia sendiri tak jarang menuduh gejala merugikan. Seperti singa Tsavo yang meneror pekerja rel kereta. Apakah itu salah? Karena gejala ini sukar dijelaskan, maka aku enggan mengakui jawaban. Keadilan adalah pertanyaanmu Nak. Kau menyoal soal alam yang dieksploitasi. Ini adalah soal pertukaran kebutuhan, dan juga pengujian. Gejala pada titik jenuhnya akan memperlihatkan hasil ketamakan manusia.”
Seperti tetes air jatuh lembut pada genangan tenang, penjelasan itu terukur menuju titik masalahku. Dan tepat di jam itu, menit itu, detik itu juga, sebuah gejala tidak terjelaskan asbabnya keluar dari perut bumi. Semua insan menangkupkan tangan selepas kejadian satu-dua jam itu.
***
Comments
Post a Comment