Cerita yang Tak Lagi Sama
Ramadhan sebentar lagi tiba! Ya, kita (kaum muslimin) mendapat kabar ini dengan penuh takjub seraya memproyeksikan rekaman fenomenal tahun kemarin. Kita membayangkan bagaimana senyuman menyambut kemenangan itu masih segar dalam benak, harum dalam sanubari sebab menyambut bulan istimewa nan penuh berkah ini.
Tahun ini, saya yakin semua persiapan sudah lengkap rapi. Asumsi positifnya, kaum muslimin akan masif beramal dalam balutan syar'i dan semoga akan selalu seperti ini. Ya, di setiap perjalanan indah menyambut ramadhan memang selalu saja banyak cerita. Anak-anak lugu dan polos tahu semua ini. Seperti biasa mereka akan berjanji dengan ayah dan ibu, menggaungkan niat ambisius "saya akan puasa penuh ramadhan kali ini" (walaupun setengah hari pun mereka tak sanggup menahan). Mereka - seperti biasa - menikmati bagian bahagia dari ramadhan saja. Benak mereka adalah indahnya berbuka, bukan indahnya puasa. Benak mereka adalah semaraknya tarawih (dengan bermain kejar-kejaran) bukan khidmatnya mendengar ceramah pembuka. Ya, begitulah anak-anak, sudah fitrah, kita cukup tertawa saja melihat tingkah ini, tapi kita sisipi tawa itu dengan bahagia sebab karena taman-taman surgawi ini, kita (yang dewasa dan sudah merasa dewasa ini) membawa cerita yang akan kita bawa menyambut Sang Tamu Istimewa.
Ramadhan memang ibarat tamu istemewa, dia selalu menyimpulkan senyum yang sama dalam setiap sekali pertemuannya dengan kita. Kita sejatinya tak pernah bosan dengan senyuman itu, pun cerita-cerita yang dibawa sang tamu istimewa ini. Bahkan, uniknya kita-lah yang berkeringat dingin, menggigit bibir tanda cemas sebab sulit mengkonsepkan cerita baru yang akan dibicarakan.
Konsep cerita yang akan kita bicarakan begitu kompleks, membawa semua pengalaman baru yang kita terima. Cerita anak-anak tadi mungkin adalah pembuka pertemuan kita dengan ramadhan guna mencairkan suasana. Tapi cerita yang bergulir selanjutnya haruslah lebih serius sebab penyikapan kita nyatanya sudah berbeda, sama berbedanya dengan episode diri kita hari ini. Sekiranya ada yang sudah lulus SMA, maka pikiran mereka mulai dewasa. Ada yang sementara kuliah (penulis pribadi tahu akan hal ini). Ada yang sudah berumah tangga. Ada yang berkutat dengan kerja, mereka sudah mulai menua. Pun ada yang telah lanjut usia, tubuhnya sudah kalah walau begitu, asanya tetap serupa. Episode-episode ini baru, mengharuskan kita untuk menyusun cerita baru, cerita yang tak lagi sama.
Ingat! kita bukan lagi anak-anak lugu yang takaran ramadhan-nya hanyalah kebahagian tanpa berbarengan keseriusan. Kita bukan lagi remaja tanggung dan labil yang mainan-nya adalah nongkrong tak berarti, bermain smartphone ria ditengah suasana tarawih malam hari dengan backsound ceramah berarti di mimbar suci. Kita tidak berada lagi di wilayah-wilayah ini, pun cerita-cerita kita tak lagi sesuai dengan hal ini. Kita sudah dewasa (jika kita mau berpikir) maka tingkah kita seharusnya sudah dewasa pula.
Ingat! Cerita kita sudah berbeda. Rasionalitas dan sikap pragmatis kita sudah bernalar aktif, mengkomplekskan konsepsi cerita kita pada ramadhan, Sang Tamu Berarti. Pengetahuan kita sudah melesat tinggi berwawasan dan cukup berkecukupan. Dunia Islam dan umat Islam saat ini adalah wilayah kita memposisikan diri, membentuk sikap kita menjadi pribadi yang lebih cermat dan sigap dalam berpikir dan bertindak. Dan kita tahu sendiri Sahabat! Bagaimana keadaan dunia dan umat Islam saat ini? Ya, berada pada dua sisi berbeda, membentuk ketimpangan yang begitu berbeda. Satu sisi, kita (di Indonesia) mungkin aman dan tenteram, nyaman merumuskan persiapan menyambut ramadhan, tetapi di sisi lain, saudara seiman kita, saudara setubuh mukmin kita membekam tersungkur akibat blokade dan misi duniawi para pengejar dunia. Ini realitas sedih, tetapi barang tentu wajib dibicarakan kepada Sang Tamu Istimewa.
Mungkin ramadhan akan bertanya-tanya tentang perubahan raut wajah kita dalam pertemuan kali ini. Awalnya kita memulai dengan cerita anak pembuka, mencairkan suasana dengan senyuman yang sebelas-duabelas dengan ramadhan, tapi (semoga) kemudian raut wajah kita berubah drastis, menunjukkan belas kasih dan pilu hati, tersayat akibat luka di beribu bagian tubuh ini. Miris namun tetap perlu digubris. Sakit namun tetap perlu diungkit. Inilah realitas yang semestinya membuat air mata kita pecah di tengah kegemerlapan dunia yang fana.
Ya, betapa rintihan tangis itu sudah semestinya mewarnai wajah kita. Setidaknya inilah usaha kita berkontribusi menolong saudara seiman kita, walaupun sebatas lewat perasaan dan doa. Pertemuan kita kali ini dengan ramadhan memang menyisipkan gundah, tapi taukah kita? Ramadhan sebagaimananya adalah tamu istimewa. Dia datang dengan penuh persiapan dan keistimewaan pula. Datang membawakan kita kabar gembira selepas mengelus pundak kita, menghibur dan mencairkan suasana yang sebelumnya kita telah buat senyap dan lengang tersisa isak tangis.
Ramadhan kemudian berbicara leluasa, bagai tamu lama dia begitu periang. Memperlihatkan kita rentetan waktu sebulan dalam tiga bagian keutamaan. "Tiga bagian keutamaan ini adalah waktu istimewa, manfaatkan baik-baik ya?" Ramadhan berujar ramah, kita pun menimpali (sedikit terlupa dengan kesedihan) "In syaa Allah".
Ramadhan memang begitu ramah, dia bisa memposisikan dirinya, supel dan proaktif, maka ketika dia menjelaskan keutamaan dirinya, seketika mata kita membulat, penuh pengharapan seraya mendawamkan keinginan dari perencanaan kita tahun ini. Tapi, kita kan sudah dewasa, ah, Ramadhan tahu akan hal itu. Toh dia juga bisa bersikap dewasa. Mengajarkan kita akan hikmah puasa dalam bentuk elegan yang ternyata juga merupakan keahliannya. Dia mengatakan bahwa saat kita tidak pilah-pilih menu berbuka, di situlah nilai kesederhanaan dan keadilan. Mengatakan kepada kita bahwa giat bekerja di sela ia bertamu adalah nilai-nilai keuletan, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial. Sholat tarawih, mendengar ceramah, berkumpul dengan keluarga, semuanya bisa dijelaskan Ramadhan dengan sangat dewasa.
Intinya, jika kita beranjak dewasa, Ramadhan bisa berlaku sama. Kita sementara kuliah, Ramadhan malah bisa menampilkan sisi akademiknya. Sudah berumah tangga? jangan khawatir, Ramadhan adalah ahlinya. Kalau sudah menua? Sudahlah, Ramadhan terlampau terampil mengurusi ini. Ah! bagaimana kalau sudah lanjut usia? o, hei jangan lupa, Ramadhan adalah penasihat yang baik. Ramadhan adalah inspirator ulung, tapi tentu ini tak berarti jika kita tak berusaha mengikuti alur pembicaraan, menimpalinya dengan ulung pula.
Akhirnya, pertemuan kita dengan ramadhan selalu saja mengundang banyak cerita. Tahun lalu berbeda, apalagi tahun ini. Semuanya sudah berbeda. Pertanyaannya, bagaimanakah cerita itu sampai kepada hati kita, sehingga dia bisa membekas dan tak terlupakan hingga ramadhan memulai siklusnya lagi? Ah, lagi-lagi saya terlalu cepat? Bukankah kita baru menanti? fokuslah dahulu menata hati merangkap cerita, guna menyambut Sang Tamu Istimewa dalam waktu dekat ini.
Tertanda, Marhaban ya Ramadhan.
Ya, betapa rintihan tangis itu sudah semestinya mewarnai wajah kita. Setidaknya inilah usaha kita berkontribusi menolong saudara seiman kita, walaupun sebatas lewat perasaan dan doa. Pertemuan kita kali ini dengan ramadhan memang menyisipkan gundah, tapi taukah kita? Ramadhan sebagaimananya adalah tamu istimewa. Dia datang dengan penuh persiapan dan keistimewaan pula. Datang membawakan kita kabar gembira selepas mengelus pundak kita, menghibur dan mencairkan suasana yang sebelumnya kita telah buat senyap dan lengang tersisa isak tangis.
Ramadhan kemudian berbicara leluasa, bagai tamu lama dia begitu periang. Memperlihatkan kita rentetan waktu sebulan dalam tiga bagian keutamaan. "Tiga bagian keutamaan ini adalah waktu istimewa, manfaatkan baik-baik ya?" Ramadhan berujar ramah, kita pun menimpali (sedikit terlupa dengan kesedihan) "In syaa Allah".
Ramadhan memang begitu ramah, dia bisa memposisikan dirinya, supel dan proaktif, maka ketika dia menjelaskan keutamaan dirinya, seketika mata kita membulat, penuh pengharapan seraya mendawamkan keinginan dari perencanaan kita tahun ini. Tapi, kita kan sudah dewasa, ah, Ramadhan tahu akan hal itu. Toh dia juga bisa bersikap dewasa. Mengajarkan kita akan hikmah puasa dalam bentuk elegan yang ternyata juga merupakan keahliannya. Dia mengatakan bahwa saat kita tidak pilah-pilih menu berbuka, di situlah nilai kesederhanaan dan keadilan. Mengatakan kepada kita bahwa giat bekerja di sela ia bertamu adalah nilai-nilai keuletan, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial. Sholat tarawih, mendengar ceramah, berkumpul dengan keluarga, semuanya bisa dijelaskan Ramadhan dengan sangat dewasa.
Intinya, jika kita beranjak dewasa, Ramadhan bisa berlaku sama. Kita sementara kuliah, Ramadhan malah bisa menampilkan sisi akademiknya. Sudah berumah tangga? jangan khawatir, Ramadhan adalah ahlinya. Kalau sudah menua? Sudahlah, Ramadhan terlampau terampil mengurusi ini. Ah! bagaimana kalau sudah lanjut usia? o, hei jangan lupa, Ramadhan adalah penasihat yang baik. Ramadhan adalah inspirator ulung, tapi tentu ini tak berarti jika kita tak berusaha mengikuti alur pembicaraan, menimpalinya dengan ulung pula.
Akhirnya, pertemuan kita dengan ramadhan selalu saja mengundang banyak cerita. Tahun lalu berbeda, apalagi tahun ini. Semuanya sudah berbeda. Pertanyaannya, bagaimanakah cerita itu sampai kepada hati kita, sehingga dia bisa membekas dan tak terlupakan hingga ramadhan memulai siklusnya lagi? Ah, lagi-lagi saya terlalu cepat? Bukankah kita baru menanti? fokuslah dahulu menata hati merangkap cerita, guna menyambut Sang Tamu Istimewa dalam waktu dekat ini.
Tertanda, Marhaban ya Ramadhan.
***
Comments
Post a Comment