Membersamai Senja


Apa yang kita pikirkan begitu mendapati fenomena alam di sekitar? Bagaimana tindakan kita terhadap fenomena alam itu? Kedua pertanyaan ini mungkin adalah pertanyaan mendasar, tetapi ternyata memiliki makna mendalam. Sama ketika kita bertanya kepada diri "siapa aku?" dan "ke mana tujuanku?" Dalam ranah filsafat mungkin ruang lingkup kajian pertanyaan ini begitu luas dan berat. Tidaklah kemudian banyak orang yang lebih memilih duduk tenang di warteg sambil memyeruput kopi panas, memilih untuk keluar dari semua persoalan.
        Kembali pada realitas bahwa kita tak akan mungkin hidup tanpa banyak pertanyaan yang timbul. Pernyataan ini tentu tidak bisa dielakkan. Sebagaimana kemudian ketika kita melihat lingkungan sekitar, posisi diri kita, dan dunia luar, kita akan menemui banyak sekali pertanyaan-pertanyaan  yang mengharuskan kita untuk menguras pikiran untuk menemui pemaknaan. Dan terkait dengan pemaknaan ini, kita mengklaim sebuah kebenaran bahwa kerap kali kita menemui pemaknaan dengan melihat realitas fenomena alam sekitar (sebagaimana pertanyaan di awal). 
       Terkait fenomena alam, satu dari sekian banyak fenomena alam yang menarik adalah senja. Ya, senja, mungkin yang terbayang secara tekstual hanya langit bermandikan warna jingga, ditemani terbenamnya sang pencerah siang (matahari). Dunia simbolis mungkin cuma berpikir bahwa senja hanya sebatas momen untuk membahagikan diri dengan mengekspos foto diri bersama objek terkait, yang kemudian di-upload dengan memilih caption menarik. Ya, begitu simbolis, sampai-sampai membuat pelakunya lupa memaknai fenomena menarik ini. Di sisi lain, yang lebih tak menyenangkan adalah dunia apatis, sebab paradigma atau kerangka berpikir yang dibangunnya adalah rasa tak peduli, acuh tak acuh. Fenomena seorang yang memilih menyeruput kopi panas tadi (ketimbang mencari solusi dalam persoalan) adalah satu dari sekian banyak fenomena dalam dunia apatis.
      Akhirnya, dunia simbolis dan apatis ini benar-benar tidak sesuai jika digunakan dalam konsep pemaknaan, sebab letak tujuannya memang berbeda. Dunia simbolis lebih mengutamakan simbol lahiriah, sehingga tujuannya hanya menuai like dan comment semata, jikalau pun bukan kedua hal itu, tujuan absolutnya hanyalah ingin memperkenalkan identitas diri dan fenomena indah yang membersamainya. Seolah kata yang digaungkannya: "ini loh saya sedang berfoto dengan senja yang indah.". Sementara dunia apatis hanyalah bagi orang yang memilih untuk mencari suntikan tak berguna. Dia bagaikan seorang pasien yang 'kenyang' dengan resep kimia maupun alamiah, tapi konsep positif pemikirannya tak pernah dibangun. Bukankah salah satu penunjang kesehatan adalah pemikiran positif akan segala ketentuan-Nya? Tapi itu tak berlaku bagi sang apatis dalam dunianya. Dia hanya berpikir untuk lari dari persoalan, memilih suntikan yang dosisnya sementara. Seolah kata yang terucap darinya "toh bagiku ini menyenangkan, buat apa kamu pusing dengan urusanku?".
     Kedua pandangan dunia di atas tentu tidak bisa menjadi penjernih bagi air yang keruh akibat tergenang. Bahkan dalam situasi klimaks, kedua pandangan ini hanya menambah keruh air. Lantas kemudian, paradigma apakah yang pantas kita gunakan dalam tujuan penjernihan pemikiran ini guna menuntaskan konsep pemaknaan senja sebagai fenomena alam yang menarik? Jawaban untuk itu, yakni marilah kita memasuki ranah pandangan dunia substansi. Dunia yang berfokus pada isi, metodenya kontekstual, lahir dari pemahaman yang menyeluruh, tidak parsial. Hasil pemahaman dunia ini memang subjektif sebab sangat terkait dengan bingkai pengalaman (dalam bahasa ilmiah: frame of reference) masing-masing individu. Oleh karena itu, pemaknaan senja ini masih erat terkait dengan pengalaman penulis selaku pengamat.
      Mengenai senja, kita berdialektika (berdebat) dengan berbagai macam instrumennya. Mengapa senja bermandikan warna jingga dan mengapa waktunya bersesuaian dengan terbenamnya sang pencerah? Mengapa ia hadir sebagai penanda datangnya gelap malam? Jingga!? Terbenam!? Penanda datangnya malam!? (sampai di sini ada yang memilih apatis?) Untuk menjawab semua pertanyaan ini mari kita menggunakan metode kontekstual.
    Pertanyaan pertama, mengapa berwarna jingga? Jawabannya: sebab jingga itu meneduhkan pandangan, sehingga semua orang tak memiliki alasan untuk tidak menyaksikan. Bayangkan jika yang dipilih adalah sinar kuning yang terik sinarnya menyilaukan. Jika itu terjadi, kita benar-benar tak dapat menyaksikan fenomena indah berupa terbenamnya sang pencerah. Ya, sang pencerah, dia-lah tokoh utama yang mendapat sorotan, sementara senja memilih untuk menjadi latar belakang yang sejatinya menghadirkan nuansa ketenangan dan keteduhan. Senja amat berperan bagi prosesi terbenamnya sang pencerah.
     Tentu, dari jawaban di atas, tersiratnya kita dapat menyimpulkan bahwa latar belakang adalah yang berperan penting bagi kematangan sang tokoh utama. Hal ini tidak didapati dalam dunia simbolis sebab ia memilih untuk mengabaikan latar belakang. Fokus utama mereka adalah sang tokoh utama, padahal sang tokoh utama tak akan pernah bersinar tanpa adanya latar belakang yang membangkitkan. Artinya hal ini kembali kepada paradigma penilaian kita, bahwa hasil upaya kita bukanlah hal yang murni berasal dari diri kita, malah sebenarnya kita berusaha hanya sampai 10 persen, 20 persennya adalah dukungan moral dari sahabat-sahabat, guru-guru, dan orang-orang yang menginginkan kebahagiaan bagi kita, 30 persennya adalah suntikan motivasi dan kerja keras ayah kita yang memilih kepayahan demi menumbuhkan dan menjaga tunas harapan (yakni kita). Sementara 40 persen adalah munajat seorang ibu yang menentramkan hati dengan berdoa pada-Nya seraya berkata lirih "Ya Allah, anakku telah tumbuh dewasa, yang aku harapkan, berikanlah kebahagiaan dan kesuksesan padanya (dunia-akhirat), sebab kebahagiaan dan kesuksesannya adalah kebahagiaanku juga. Berikanlah ia kesehatan, sebab bagiku kesehatannya adalah yang utama" Linang air mata sang ibu jatuh tersebab keikhlasan, dan keikhlasan itulah yang menuai keberkahan bagi diri kita.
      Maka tak pantas bagi kita untuk berlaku congkak dan angkuh setelah menuai kesuksesan, sebab hal itu membuat kita melakukan fitnah yang besar. Pengakuan itu adalah fitnah karena akan mengubur kebenaran dan keluar dari mulut yang penuh kedustaan. Maka dari itu, jangan berlepas dari prinsip untuk membahagikan, sebab kita mendapat amanah yang kita dipercayai untuk mengembannya.
    Kemudian, proses pemaknaan ini berlanjut pada pertanyaan berikutnya, mengapa terbenam? Mengapa sang pencerah terbenam bersesuaian dengan senja yang meneduhkan? Mengapa senja hadir sebagai penanda datangnya sang malam? Tentu keseluruhan pertanyaan ini mengingatkan kita bahwa kita sebagai tokoh utama akan selalu menghadapi keadaan yang akan mengembalikan kita pada subjektivitas diri sebagai manusia. Ranah ini mengharuskan kita untuk melupakan posisi, jabatan, materi, serta hal-hal duniawi lainnya, sebab hal itu hanyalah bersifat sementara. Hal yang menjadi indah dalam keadaan pengakuan kita sebagai manusia ini (tentu tanpa adanya ingatan terkait aspek duniawi) adalah hadirnya kita dalam suasana hening terbalut nuansa melankolis nan penuh ekspektasi, serta terbingkai dalam muara ridho-Nya. Keadaan ini hanya bisa kita terima setelah membenamkan sinar terang, kemudian menjumpai sang malam. Malam adalah suasana khidmat dan hening, begitu sesuai jika dimanfaatkan untuk meneteskan air mata, karena ternyata kesudahan malam tak akan pernah bisa diperkirakan. Apakah kita tahu bahwa hati kita akan tetap sama esok? Apakah kita bisa menjamin bahwa kita masih bisa bernafas untuk hari esok? Untuk pertanyaan pertama, tentu kita tidak akan pernah menginginkan, sebab mendapati hati yang sudah berbeda tentu memilukan. Maka terkait hal ini, timbulkanlah pengharapan pada rahmat-Nya sebab Dia-lah yang Maha Membolak-balikkan hati. Sementara untuk pertanyaan kedua, sudah semestinya kita menghadirkan nuansa melankolis, mengingat kita tidak pernah tahu kapan waktu untuk berpulang, sedang amal kita masih berantakan, bahkan sejatinya kita masih merangkak dalam proses kebaikan.
   Sahabat! Hidup kita ini ibarat membersamai senja dengan setiap prosesnya yang senantiasa dipergulirkan. Senja hadir memberitahu kita makna hidup, memberikan kita konsep kehidupan bahwa hidup ini sejatinya adalah bermuara pada perenungan. Jangan mengira bahwa kesuksesan tidak butuh dengan perenungan! sebab perenungan kesuksesan adalah bahwa orang-orang terdekat kita (terlebih kedua orang tua) mengharapkan kita teguh dalam mengemban amanah. Senja juga berbisik lirih kepada kita, mengatakan bahwa setelah dia akan datang sang malam yang menyelimuti dengan segala keheningannya. Mengingatkan kita bahwa kehidupan ini adalah tentang mempertahankan prinsip keimanan dengan batas waktu yang tak diketahui. Beralihnya hati kepada kemaksiatan setelah menuai kesuksesan adalah sama saja dengan kematian. Di sisi lain, waktu untuk pulang yang tidak diketahui juga membawa kita pada kepasrahan, merelakan semuanya kepada Dzat yang Maha Menentukan.
    Sahabat! beterima kasih-lah pada-Nya sebab telah memberikan kita senja yang indah, lengkap dengan pelajaran-pelajaran indah di dalamnya.

***
   

Comments

Popular posts from this blog

Alam dan Keadilan

Bebal

Blacklist, Blueprint, dan Sindikat di Ibu Kota